Beranda | Artikel
Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 1)
Jumat, 10 Juni 2022

Pendahuluan

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-12 H. Beliau lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Melalui tulisan dan dakwahnya, beliau mengajak manusia untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah melalui jalan yang ditempuh oleh para sahabat radhiyallahu ’anhum.

Di antara karya beliau yang menjadi pusat perhatian para ulama dan pencari ilmu dari berbagai penjuru bumi adalah Kitab At-Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Abiid. Kitab tersebut berisi penjelasan tentang tauhid yang merupakan hak Allah atas setiap hamba. Sebuah kitab yang mengupas satu demi satu perkara tauhid ibadah secara rinci dengan landasan dalil wahyu dan asar pendahulu.

Sebuah kitab yang merangkum ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membeberkan perkara paling agung dan paling mendasar di dalam agama Islam, yaitu akidah tauhid. Di mana hal itu merupakan kandungan dari 2 kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak boleh beribadah, kecuali kepada Allah. Sedangkan syahadat anna muhammadar rasulullah mengandung prinsip tidak boleh beribadah kepada Allah, kecuali dengan mengikuti tata cara atau jalan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di zaman kita sekarang ini, kita bisa jumpai sekian banyak warna dan corak yang dianggap mewakili ajaran Islam. Ada yang condong kepada pemahaman ini dan pemikiran itu. Ada yang fanatik kepada kelompok anu dan tokoh anu. Setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada diri mereka. Mereka tidak sadar, bahwa sesungguhnya hal itu (berpecah-belah) merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik yang mengangkat sesembahan tandingan bagi Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

مِنَ ٱلَّذِینَ فَرَّقُوا۟ دِینَهُمۡ وَكَانُوا۟ شِیَعࣰاۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَیۡهِمۡ فَرِحُونَ

“… Dan janganlah kalian menjadi termasuk golongan orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agamanya sehingga mereka pun bergolong-golongan, setiap golongan berbangga dengan apa-apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ruum: 31-32)

Baca Juga: Biografi Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani (1)

Siapakah yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang memecah-belah agamanya menjadi bergolong-golongan’? Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani. Ada juga yang menafsirkan bahwa tercakup di dalamnya kaum ahli bid’ah yang ada di tengah umat ini. (lihat Ma’alim At-Tanzil, hal. 1007)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagian ayat ‘janganlah kalian menjadi termasuk golongan orang-orang musyrik’ maksudnya adalah hendaklah kalian menjadi orang-orang yang bertauhid yang memurnikan ibadah hanya untuk-Nya. Dia tidak menghendaki dengan ibadahnya itu, kecuali berharap dan tertuju kepada Allah. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 6/316)

Dan inilah yang senantiasa diserukan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab dan risalah yang beliau susun. Beliau mengajak manusia untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah semata serta meninggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya.

Hal itu bisa kita lihat dengan gamblang dalam karya-karya beliau seperti Tsalatsah Al-Ushul (tiga landasan pokok), Al-Qawa’id Al-Arba’ (empat kaidah utama), Kitab At-Tauhid, dan Kasyfu Syubuhat (menyingkap kerancuan). Buku-buku itu ditulis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat memerlukan pencerahan dan keterangan yang lurus tentang hakikat tauhid, ibadah, dan kesyirikan. Perkara-perkara yang sangat urgen dan fundamental dalam agama Islam yang hanif ini.

Misalnya, beliau mengatakan dalam risalah Tsalatsah Al-Ushul, “Perkara yang paling agung yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun perkara terlarang yang paling besar yang dilarang oleh Allah adalah syirik, yaitu berdoa kepada selain-Nya bersama ibadah kepada-Nya.”

Baca Juga: Biografi Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaily

Dalam risalahnya Al-Qawa’id Al-Arba’ beliau menjelaskan, “Apabila anda telah mengerti bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah, kecuali apabila dibarengi tauhid. Apabila syirik mencampuri suatu ibadah, maka ibadah itu menjadi rusak sebagaimana hadats yang menimpa pada thaharah.”

Diakui atau tidak, kenyataan di tengah masyarakat menunjukkan bahwa banyak di antara kaum muslimin sendiri yang masih tidak mengerti tentang hakikat tauhid dan syirik, masih dangkal pemahamannya tentang ibadah dan syarat diterimanya ibadah, bahkan tidak paham betapa besar bahaya syirik terhadap ibadah dan apa saja yang bisa merusak ibadahnya. Apabila mereka diajak untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah serta komitmen untuk selalu mengikuti tuntunan/ sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka justru marah dan menganggap dakwah tauhid sebagai perusak persatuan dan pemecah-belah umat. Wallahul musta’aan.

Dari sinilah, umat Islam perlu untuk kembali merujuk kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana jalan yang benar untuk selamat dan meraih kebahagiaan. Bagaimana mewujudkan ibadah dan merealisasikan tujuan hidupnya dengan benar. Sebagaimana yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Para ulama salaf telah menafsirkan bahwa ibadah yang dimaksud di sini yang paling pokok adalah tauhid. Sehingga setiap perintah beribadah kepada Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka maknanya adalah perintah untuk bertauhid.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Semua yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang berisi perintah untuk beribadah maknanya adalah perintah untuk bertauhid.” (Disebutkan oleh Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim At-Tanzil, hal. 20)

Demikian pula, wajib bagi kaum muslimin untuk menyadari bahwa sebab utama keberuntungan dan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat adalah dengan mewujudkan tauhid dan keimanan di dalam kehidupan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

 وَٱلۡعَصۡرِ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِی خُسۡرٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡا۟ بِٱلصَّبۡرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Inilah kaidah agung yang senantiasa diwahyukan kepada para nabi. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, ‘Apabila kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65)

Demikianlah metode Al-Qur’an Al-Karim dalam menyeru manusia untuk kembali ke jalan tauhid. Dengan menggandengkan targhib (motivasi) dengan tarhib/ancaman dan peringatan. Yang karena itulah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam Kitab Tauhid-nya juga membuat bab khusus yang menjelaskan keutamaan tauhid dan dosa-dosa yang terhapus karenanya, di samping beliau juga membawakan bab tentang rasa takut terjerumus dalam kesyirikan. Terangkum di dalamnya antara khouf (rasa takut) dan roja’ (harapan) dalam beribadah kepada Allah.

Di dalam risalah Ba’dhu Fawa’id Surah Al-Fatihah, beliau juga mengungkapkan kepada kita bahwa ada 3 pilar ibadah hati yang tersimpan di dalam surat yang agung ini, yaitu surat al-Fatihah. Ketiga pilar ibadah itu adalah takut, harap, dan cinta. Tidaklah benar ibadah kepada Allah tanpa berpadunya ketiga pilar ibadah ini. Di dalam risalah ini (begitu juga dalam karya beliau yang lain) beliau juga menekankan bahwa memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Beliau juga berkata, “Sesungguhnya Allah tidak rida dipersekutukan bersama-Nya dalam beribadah kepada-Nya siapa pun itu, entah itu malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi utusan.”

Baca Juga: Biografi Imam At Tirmidzi

Tiga Landasan Utama

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berupaya menyajikan ilmu ini semudah mungkin bagi masyarakat. Oleh sebab itu, beliau merangkum berbagai keutamaan dan kewajiban dalam kalimat-kalimat yang ringkas dan sarat akan makna. Misalnya, di bagian awal risalah Tsalatsah Al-Ushul beliau menyebutkan ada 4 kewajiban kita, yaitu ilmu, amal, dakwah, dan sabar.

Beliau juga meringkas bahwa hakikat ilmu yang paling wajib dipelajari itu mencakup mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal agama Islam dengan berlandaskan dalil-dalil. Inilah 3 landasan utama yang menjadi materi pertanyaan bagi setiap insan ketika dia telah masuk ke alam kubur. Siapa Rabbmu? Siapa nabimu? Dan apa agamamu?

Disebutkan dalam hadis riwayat At-Thayalisi dan yang lainnya, bahwa orang yang beriman apabila ditanya oleh malaikat, “Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?” Dia pun menjawab, “Rabbku Allah, agamaku Islam, dan nabiku Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.” Adapun orang kafir ketika ditanya oleh malaikat, “Siapa Rabbmu?” Dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu.” Ketika ditanya, “Apa agamamu?” Dia menjawab, “Hah, hah, aku tidak tahu.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang kamu katakan tentang lelaki ini yang telah diutus kepada kalian?” Maka, dia tidak bisa menyebutkan namanya. Lalu, dikatakan kepadanya, “Muhammad!” tetapi dia malah mengatakan, “Hah, hah. Aku tidak tahu.” (Hadis ini disahihkan Al-Albani dan dinyatakan hasan oleh Muqbil Al-Wadi’i, lihat Al-Qabru ‘Adzabuhu wa Na’imuhu, hal. 15-19)

Orang yang bisa menjawab pertanyaan kubur, maka kuburnya akan menjadi salah satu taman di antara taman-taman surga. Sedangkan orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan kubur, maka kuburnya akan menjadi jurang di antara jurang-jurang neraka. Suatu ketika, ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai azab kubur. Beliau menjawab, “Ya, azab kubur itu benar adanya.” ‘Aisyah pun mengatakan, “Tidaklah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah itu, melainkan beliau selalu berdoa dalam setiap kali salat untuk berlindung kepada Allah dari azab kubur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain dikisahkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang beriman telah didudukkan di dalam kuburnya, dia pun didatangi oleh malaikat. Kemudian dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Itulah maksud dari firman Allah,

یُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ بِٱلۡقَوۡلِ ٱلثَّابِتِ   

‘Allah akan teguhkan orang-orang beriman dengan ucapan yang kokoh.’ (QS. Ibrahim : 27)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang bisa menjawab pertanyaan kubur adalah orang beriman ahli tauhid, sedangkan orang kafir dan munafik tidak akan bisa menjawab dan akan diazab dengan azab yang sangat keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun orang munafik dan orang kafir, dikatakan kepadanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang lelaki ini (Muhammad)?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan apa-apa yang dikatakan oleh orang.’ Lalu dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak mau tahu dan tidak mau mengikuti (kebenaran). Kemudian dia dipukul dengan palu dari besi sekali pukulan. Lantas dia pun menjerit (kesakitan) yang jeritannya itu bisa didengar siapa yang dekat dengannya selain jin dan manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah menjelaskan,

 فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِی فَإِنَّ لَهُۥ مَعِیشَةࣰ ضَنكࣰا وَنَحۡشُرُهُۥ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ أَعۡمَىٰ

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۤ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِیرࣰا

قَالَ كَذَ ٰ⁠لِكَ أَتَتۡكَ ءَایَـٰتُنَا فَنَسِیتَهَاۖ وَكَذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡیَوۡمَ تُنسَىٰ

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan kelak pada hari kiamat kami akan mengumpulkan dia dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Wahai Rabbku mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dahulu aku bisa melihat?’ Allah menjawab, ‘Demikianlah yang pantas kamu peroleh. Dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu juga dilupakan.’” (QS. Thaha: 123-126)

Orang yang berpaling dari peringatan Allah dan petunjuk-Nya, maka dia akan mengalami kesempitan hidup di dunia dan di akhirat. Hatinya tidak bisa merasa tenang. Dadanya terasa sempit. Meskipun secara lahiriah dia tampak menikmati berbagai kemewahan dan kelezatan. Akan tetapi, hatinya terus saja dilanda keraguan, kegalauan, dan kesusahan. Termasuk makna penghidupan yang sempit adalah berupa amalan yang jelek dan rezeki yang kotor (jelek). Termasuk dalam bentuk penghidupan yang sempit juga akan disempitkan kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya bergeser berantakan. Al-Bazzar rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menafsirkan ‘penghidupan yang sempit’ itu dengan ‘azab kubur’. (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah, 5: 239)

Syekh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah (seorang ulama besar di Arab Saudi sekaligus ahli fikih dan ahli ushul) menjelaskan bahwa asas dari agama ini adalah I’tiqad (aqidah). Seandainya ada orang yang berpegang-teguh dengan hukum agama dalam cabang-cabang syari’at Islam ini, tetapi dia tidak berpegang-teguh dengan akidah kita (tauhid), maka hal itu tidak akan bermanfaat untuknya di hadapan Allah. Oleh sebab itulah, pertanyaan yang ditujukan kepada seorang hamba pada saat di alam kuburnya adalah berkaitan dengan akidah, Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?” (lihat Syarh Mutun Al-’Aqidah, hal. 5)

Saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala, pengetahuan dan pemahaman tentang tauhid adalah kunci kebaikan seorang hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Tirmidzi juga membawakan hadis ini dalam bab yang berjudul ‘Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah pahamkan dia dalam agama’ (lihat penjelasan Syekh Abdul Muhsin al-’Abbad dalam Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 2: 38)

[Bersambung]

Baca Juga:

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/75609-fikih-dakwah-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-1.html